Sulselinfo.com, Jakarta – Pengamat Politik Lokal Papua Frans Maniagasi mengatakan, alasan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) atau pemekaran Papua dari perspektif pemerintah adalah untuk mengakselerasi pembangunan dan memperluas jangkauan pelayanan birokrasi pemerintahan. Tapi pada saat yang sama nilai rasionalitas Orang Asli Papua (OAP) untuk memahami nilai-nilainya sendiri pun mesti diberikan ruang bagi mereka berakselarasi.
“Dengan demikian, pemekaran wilayah tidak mencabut OAP dari nilai-nilai dan akar budayanya. Pengalaman empiris menunjukkan, pemekaran wilayah selama ini membawa perubahan yang signifikan terhadap kemajuan fisik,” ungkap Frans yang juga mantan Anggota Tim Asistensi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tahun 2001 dalam keterangannya, Kamis (19/5/2022).
Menurut Frans, pemekaran tidak hanya fokus pada percepatan pembangunan dan memperpendek rentang kendali pemerintahan (birokrasi), di satu pihak akan memproduksi kemajuan yang progresif. Namun, di lain pihak pemekaran berfungsi agar ada sinergitas terhadap eksistensi dan keberlanjutan dari paradigma nilai lokal.
“Pemekaran tak memandang nilai lokal sebagai antipemekaran dan perubahan atau resistensi terhadap pembangunan,” tambah Frans yang juga pernah menjadi Staf Ahli Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri.
Dijelaskan dia, pemekaran Papua bukan hanya menjadi rencana di atas kertas, tapi akan diwujudkan. Betapa tidak. Secara yuridis pasal 76 ayat 1, 2, dan 3 UU No 2/2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua melegitimasi pemekaran dapat dilakukan.
“Mekanismenya dapat dilakukan bottom-up dan top down hal ini dapat ditunjukkan pada ayat (1) pemekaran provinsi – provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh–sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi dan perkembangan pada masa yang akan datang,” ungkap Frans yang saat ini menjabat Koordinator Forum Diskusi Sabang– Merauke (FORSAM).
Di sisi lain, lanjut dia, dalam Ayat (2) Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua.
“Sementara di Ayat (3), Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tanpa dilakukan melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur dalam Undang – Undang mengenai pemerintahan daerah,” lanjut dia.
Ayat– ayat di atas, ditegaskan Frans, merefleksikan negara melakukan pemekaran provinsi lantaran beberapa argumentasi pertama alasan ideologis sebagai ekses warisan sejarah integrasi Papua (1963) menyusul Pepera (1969) dan diperparah oleh berbagai pelanggaran HAM yang tak pernah tuntas diselesaikan.
Perspektif itu, dikatakan dia, yang paling dominan adalah developmentalis yang melatar belakangi perubahan pasal 76 ayat ( 1, 2, dan 3) mendominasi argumentasi Pemerintah dengan alasan pembangunan dan administratif pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat menjadi basis logikanya yang menginginkan “percepatan” pemekaran provinsi – provinsi di Papua.
“Oleh karena itu ayat (2) menjadikan patokan pemekaran wilayah Papua untuk kepentingan strategi nasional untuk mengurai berbagai persoalan dan konflik di Papua berkenan dengan percepatan pembangunan kesejahteraan (Inpres No 9/2020) dan dikokohkan dengan perubahan UU 21/2001 menjadi UU No 2/2021 tentang Otonomi Khusus Papua,” tutup Frans. (***)
Tinggalkan Balasan