Jakarta – Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Jakarta Timur menghadiri persidangan agenda Tanggapan (Replik) Jaksa Penuntut Umum atas pembelaan (pledoi) dari Terdakwa dan Tim Penasihat Hukum Terdakwa Heru Hidayat dalam Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan dan Dana Investasi oleh PT. ASABRI (Persero) pada beberapa perusahaan periode tahun 2012 s/d 2019 bertempat di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas IA Khusus. (15/12).
Tanggapan (Replik) Jaksa Penuntut Umum terkait dalil pembelaan Terdakwa dan Tim Penasihat Hukum Terdakwa tentang Tuntutan pidana mati yang diucapkan JPU dengan menggunakan dalil Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk menuntut Terdakwa dihukum mati, padahal pasal tersebut tidak didakwakan.
JaksaPenuntut Umum memberikan tanggapan bahwa di dalam Pasal 182 ayat 4 KUHAP, berbunyi “Musyawarah tersebut pada ayat 3 harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang”.
Di dalam perkara aquo Terdakwa didakwa dengan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor dan pada saat di persidangan ditemukan hal-hal yang memberatkan akibat perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa sedangkan pemberatan di Pasal 2 UU Tipikor termuat di dalam ayat 2, hal ini sejalan dengan pandangan yang diberikan oleh Satjipto Rahardjo yang memberikan gagasan-gagasan terbaru dalam memaknai hukum, dengan konsep teori hukum progresif-nya, yang mana hukum tidak hanya dimaknai secara tekstual saja, sehingga pemaknaan terhadap asas ultra petitum partium dapat diberikan pemaknaan lain dengan menggunakan teknik-teknik penemuan hukum guna mendapatkan keadilan yang sesuai dengan keadilan dalam masyarakat.
Pada pemeriksaan perkara pidana yang dicari adalah kebenaran materil. Sehingga Hakim dalam memeriksa perkara bersifat aktif dan bebas mempertimbangkan segala sesuatunya yang terkait dengan perkara yang sedang diperiksa tersebut.
Di dalam KUHAP tidak ada satu pasal pun yang mengatur keharusan hakim untuk memutus perkara sesuai dengan tuntutan jaksa. Hakim bebas menentukan berat ringannya pemidanaan atas perkara yang diperiksa. Putusan hakim kasus pidana pada dasarnya bertujuan untuk melindungi kepentingan publik. Sehingga putusan ultra petita dibenarkan sepanjang hal tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat luas atau publik.
Menurut pendapat Van Apeldoorn hakim harus menyesuaikan (waarderen) undang-undang dengan hal-hal yang konkrit yang terjadi di masyarakat dan hakim dapat menambah (aanvullen) undang-undang apabila perlu. Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal yang konkrit, karena undang-undang tidak meliputi segala kejadian yang timbul dalam masyarakat, sehingga Putusan hakim dapat memuat suatu hukum dalam suasana “werkelijkheid” yang menyimpang dari hukum dalam suasana “positiviteit”.
Bahwa dalam praktik peradilan, Hakim memutus perkara diluar dari pasal yang didakwakan kepada Terdakwa adalah bukan sesuatu hal yang baru, hal tersebut dapat dilihat dari putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Nomor: 17/ PID.SUS/TPK/ PN.JKT.PST, tanggal 23 Juni 2014 atas nama Susi Tur Andayani terkait perkara tindak pidana korupsi (suap) pengurusan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi, dalam putusannya Hakim memutus Pasal yang berkualifikasi delik berbeda dengan Pasal yang tercantum di dalam Surat Dakwaan yaitu Hakim memutus dengan menggunakan ketentuan dari Pasal 6 Ayat 1 huruf a UU Tipikor, selain dari perkara tersebut, masih terdapat putusan pengadilan yang lain, yang mana Hakim dalam memutus perkara diluar dari pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum kepada Terdakwa.
Demikian halnya penggunaan pasal 63, 64 dan 65 KUHP yang dalam praktek peradilan sering digunakan meskipun tidak dicantumkan dalam Surat Dakwaan, oleh karena pasal-pasal tersebut merupakan pemberatan dan bukan merupakan unsur delik. Pasal-pasal tersebut bersifat sama dengan apa yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, Jaksa Penuntut Umum memberikan Tanggapan (Replik) terkait menuntut Terdakwa dihukum mati, Jaksa Penuntut Umum memberikan tanggapan sebagai akibat perbuatan terdakwa Heru Hidayat dalam perkara ini telah menimbulkan kerugian Keuangan Negara sangat besar dengan jumlah seluruhnya sebesar Rp. 22.788.566.482.083,00 (dua puluh dua triliun tujuh ratus delapan puluh delapan miliar lima ratus enam puluh enam juta empat ratus delapan puluh dua ribu delapan puluh tiga rupiah),
Yang mana atribusi dari kerugian keuangan negara tersebut dinikmati terdakwa Heru Hidayat sebesar Rp.12.643.400.946.226 (dua belas triliun enam ratus empat puluh tiga miliar empat ratus juta sembilan ratus empat puluh enam ribu dua ratus dua puluh enam rupiah). Nilai kerugian keuangan negara dan atriubusi yang dinikmati oleh terdakwa Heru Hidayat sangat jauh diluar nalar kemanusiaan dan sangat menciderai rasa keadilan masyarakat.
Bahwa terdakwa Heru Hidayat pada perkara lain yaitu perkara Tindak Pidana Korupsi PT. ASURANSI JIWASRAYA juga telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan nilai kerugian keuangan negara yang juga sangat fantastis yaitu telah merugikan keuangan sebesar Rp.16.807.283.375.000,00 (enam belas triliun delapan ratus tujuh miliar dua ratus delapan puluh tiga juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) dengan atribusi yang dinikmati oleh Terdakwa Heru Hidayat seluruhnya sebesar Rp.10.728.783.375 .000,00 (sepuluh triliun tujuh ratus dua puluh delapan miliar tujuh ratus delapan puluh tiga juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).
Bahwa skema kejahatan yang telah dilakukan oleh terdakwa Heru Hidayat baik dalam perkara a quo maupun dalam perkara korupsi sebelumnya pada PT. Asuransi Jiwasraya, sangat sempurna sebagai kejahatan yang complicated dan sophisticated, karena dilakukan dalam periode waktu sangat panjang dan “berulang-ulang”, melibatkan banyak skema termasuk kejahatan sindikasi yang menggunakan instrument pasar modal dan asuransi, menggunakan banyak pihak sebagai nominee dan mengendalikan sejumlah instrumen di dalam system pasar modal, menimbulkan korban baik secara langsung dan tidak langsung yang sangat banyak dan bersifat meluas.
Perbuatan Terdakwa telah mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat dan telah menghancurkan wibawa negara karena telah menerobos sistem regulasi dan sistem pengawasan di Pasar Modal dan Asuransi dengan sindikat kejahatan yang sangat luar biasa berani, tak pandang bulu, serta tanpa rasa takut yang hadir dalam dirinya dalam memperkaya diri secara melawan hukum.
Terdakwa Heru Hidayat tidak memiliki sedikitpun empati dengan beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperolehnya secara sukarela serta tidak pernah menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah.
Terdakwa Heru Hidayat dalam persidangan tidak menunjukkan rasa bersalah apalagi suatu penyesalan sedikitpun atas pebuatan yang telah dilakukannya, “telah jelas” mengusik nilai-nilai kemanusiaan kita dan rasa keadilan sebagai bangsa yang sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. (AM)
Tinggalkan Balasan