Yogyakarta – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) “Penanganan Penyelesaian Masalah dan Konflik Pertanahan di Daerah”. Rakor digelar di Yogyakarta dari 21 hingga 23 Oktober 2021.

Kegiatan itu dibuka oleh Direktur Kawasan, Perkotaan dan Batas Negara Thomas Umbu Pati Tena Bolodadi, Kamis (21/10/2021). Pada kesempatan tersebut, turut hadir Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tri Saktiyana mewakili pemerintah setempat, yang memberi sambutan sekaligus arahan.

Thomas menjelaskan, rapat tersebut untuk menyelesaikan berbagai masalah dan konflik pertanahan di daerah. Permasalahan pertanahan, kata dia, termasuk dalam urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat 2 huruf (d) Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Selain itu, lanjutnya, pada lampiran huruf (J) UU Nomor 23 Tahun 2014 juga dijelaskan mengenai pembagian urusan pemerintahan bidang pertanahan, baik pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. “Sehingga persoalan ini penting untuk dipahami semua pihak, agar dapat memberikan penanganan yang tepat,” ujar Thomas.

Di lain sisi, Thomas menjelaskan, bagaimana dinamika yang berkembang saat ini, berdampak pada kebutuhan hidup masyarakat. Salah satunya, yakni kebutuhan akan tanah yang kian meningkat pesat. Namun, kebutuhan ini tidak diimbangi dengan luasan tanah yang memadai karena jumlahnya terbatas. Akibatnya, kondisi ini membuat keberadaan tanah menjadi barang berharga, dan tak jarang jadi sumber utama konflik di tengah masyarakat. Karena itu, lanjutnya, untuk menghindari konflik tersebut, dibutuhkan proses penataan pertanahan yang baik dan benar di daerah.

“Asistensi dan fasilitasi penyelesaian masalah pertanahan merupakan suatu upaya atau inisiatif yang dilakukan untuk mengatasi dan mencari jalan keluar atas timbulnya peristiwa masalah atau konflik pertanahan,” terangnya.

Sehubungan arahan Presiden, Kepala Staf Kepresidenan telah menetapkan 137 kasus atau lokasi prioritas agraria pada 2021, yang tersebar di 18 Provinsi dan 61 kabupaten/kota. Kementerian dan lembaga, termasuk Kemendagri, terlibat dalam mendukung penyelesaian kasus tersebut.

Mendagri juga diminta untuk mendorong komitmen pemerintah daerah dalam penyelesaian kasus pada lokasi prioritas di 137 daerah. Hal ini sebagaimana surat dari Kepala Staf Kepresidenan Nomor B-38/KSK/06/2021 pada 14 Juni 2021, perihal Penguatan Peran Kepala Daerah dan Pemerintah Daerah dalam Penyelesaian Kasus/Lokasi Agraria Tahun 2021.

Thomas menuturkan, menindaklanjuti surat tersebut, sebagai salah satu anggota Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria Tahun 2021, Kemendagri telah menerbitkan Surat Mendagri Nomor 591/4819/SJ tanggal 3 September 2021 tentang Dukungan Penanganan Konflik Agraria pada Kasus/Lokasi Prioritas Tahun 2021.

Adapun Rakor tersebut diikuti oleh para pejabat yang menangani bidang pertanahan dari sejumlah pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Untuk memberi pemahaman kepada para peserta rapat, Kemendagri mengundang sejumlah narasumber, di antaranya perwakilan dari Kementerian ATR/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).

Dalam kesempatan itu, berbagai isu strategis permasalahan pertanahan turut dibahas, seperti permasalahan Hak Guna Usaha (HGU) pada aset-aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) termasuk PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Selain itu, dibahas pula Hak Guna Bangunan (HGB) pada aset-aset yang dimiliki pemerintah daerah. Tak hanya itu, Tanah Ulayat dengan pihak swasta maupun transmigran, serta percepatan penanganan konflik agraria di 137 lokasi/kasus pada 18 provinsi, 61 kabupaten/kota juga turut disoroti.

Rakor tersebut kemudian melahirkan enam rekomendasi yang bakal ditindaklanjuti oleh Kemendagri bersama kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah. Hal ini sebagai upaya mempercepat penanganan dan penyelesaian masalah pertanahan. Adapun enam rekomendasi tersebut di antaranya:

Pertama, kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang pertanahan segera menerbitkan NSPK. Ini agar menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan dan penganggaran dalam kegiatan fasilitasi pelaksanaan urusan pemerintahan bidang pertanahan yang menjadi kewenangan daerah sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014.

Kedua, koordinasi pembinaan dan pengawasan (binwas) sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, menjadi tolok ukur kinerja penyelenggaraan urusan pemerintahan secara nasional. Sebagaimana PP tersebut telah menjelaskan, bahwa Kemendagri melakukan binwas umum, sedangkan kementerian/lembaga teknis melakukan pembinaan teknis.

Ketiga, menjamin penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pertanahan yang telah didesentralisasikan oleh pemerintah pusat (9 kewenangan) dapat terlaksana dengan baik oleh pemerintah daerah. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014.

Keempat, meningkatkan koordinasi dan supervisi lembaga vertikal pusat bidang pertanahan dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang menangani pertanahan di setiap daerah.

Kelima, pemerintah daerah mengkaji dan memperbaiki kelembagaan keuangan dan personel OPD penyelenggara urusan bidang pertanahan.

Keenam, untuk mempercepat sertifikasi tanah aset pemerintah daerah, diperlukan MoU antara Kemendagri dengan Kementerian ATR/BPN mengenai target legalisasi aset dan perencanaan penganggaran APBD.

Editor: A2M