Merauke – Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menandatangani UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua, Senin (19/7/2021). UU itu sebelumnya telah disetujui dalam paripurna DPR.
Ada perubahan penting dalam UU Otsus Papua yang baru tersebut. Terdapat 20 pasal yang mengalami perubahan dalam RUU ini. Sebanyak 20 pasal tersebut terdiri dari 3 pasal usulan Pemerintah yang memuat materi menganai dana Otsus Papua, sebanyak 15 pasal di luar substansi yang diajukan, ditambah 2 pasal substansi materi di luar undang-undang.
Yang menarik RUU Otsus Papua ini mengakomodir perlunya pengaturan kekhususan bagi Orang Asli Papua (OAP) dalam bidang politik, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan perekonomian serta memberikan dukungan bagi pembinaan masyarakat adat.
RUU ini menegaskan pula bahwa kursi dari unsur pengangkatan anggota DPRK ini tidak boleh diisi dari partai politik, dan memberikan afirmasi 30 persen dari unsur perempuan. Penegasan ini juga berlaku bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
Hak politik Orang Asli Papua yang mendapat perlakuan khusus dalam uu ini, tentu saja tak bisa dilepaskan dari peran dan perjuangan yang dilakukan mantan Bupati Merauke Frederikus Gebze SE MSi.
Freddy, panggilan putra asli suku Marind (Merauke) ini, boleh dibilang adalah inisiator perlunya mempertegas hak dan peran politik warga Papua asli di tanah kelahirannya sendiri
Freddy dengan seluruh komponen adat di wilayah selatan Papua melakukan berbagai upaya agar hak-hak orang asli Papua itu mendapat kursi yang pantas baik itu DPRD Kabupaten, Provinsi maupun DPR Ri,
Diminta tanggapannya dengan disahkannya UU Otsus Papua jilid II ini, Freddy mengaku sangat mengapresisasi. Terlebih karena beberapa usulan warga Papua yang diinisisasinya, terutama menyangkut hak dan peran politik warga asli Papua telah diakomodir dan masuk dalam UU ini.
“Ini merupakan satu pergumulan panjang orang asli Papua di tanah Papua. Dimana mereka setiap adanya Pemilihan Legislatif selalu tidak mendapatkan kursi,” ujar Freddy, kepada media, Kamis (22/7/2021).
Seperti diketahui, ketika Undang-Undang Otsus Papua jilid I dibentuk pada tahun 2001, rupanya tidak diduga telah terjadi migrasi masuk yang luar biasa dari seluruh nusantara ini ke Papua.
Dan hal itu mengakibatkan berubahnya landskap kependudukan di Papua. Hasil sensus penduduk tahun (SP) 2010 oleh BPS menunjukkan bahwa penduduk kota Jayapura dan kabupaten-kabupaten seperti Merauke, Keerom, Nabire dan Mimika sudah dikuasai kaum migran. Orang asli Papua menjadi minoritas di provinsi sendiri. Di Provinsi Papua Barat, orang asli Papua hanya dominan di Pegunungan Arfak, Tambrauw dan Maybrat, serta mungkin Teluk Wondama. Wilayah lain sudah didominasi pendatang.
Tentu saja hal ini mempengaruhi hasil Pemilu Legislatif. Pada Pemilu 2014, misalnya, menunjukkan keterlibatan orang asli Papua di parlemen sangatlah sedikit.
Di Kabupaten Merauke, dari 30 anggota DPRD, hanya ada tiga orang asli Papua. Di Kota Sorong, hanya lima orang orang asli Papua dari 30 anggota DPRD. Di Kota Jayapura, diperkirakan hanya sepuluh orang dari 40 orang anggota Dewan.
Di DPR Provinsi Papua Barat, jumlah orang asli Papua yang berasal dari partai sesungguhnya juga lebih sedikit. Untung saja ada kebijakan keanggotaan DPRD melalui pengangkatan orang asli Papua.
Orang asli Papua yang minoritas di dewan perwakilan rakyat, baik di provinsi maupun kabupaten/kota, jelas tidak kondusif bagi pelaksanaan otonomi khusus Papua.
Melihat kondisi itu Freddy pun, saat masih menjadi Bupati Merauke, menginisiasi kegiatan yang namanya “duduk tikar adat” pada 4 Juni 2019.
Disepakati perlunya memperluas peran politik warga asli Papua di parlemen.
“Kita dulu mintanya perpres ternyata yang keluar diakomodir justru undang-undang. Berarti kan lebih tinggi. Sekaligus kami ingin mengusulkan dibentuknya badan otsus lembaga yang akan dibentuk dan diawasi oleh wapres,” tuturnya.
Pada kegiatan “duduk tikar adat” , hadir dari Dewan Adat Papua, MRP, Akademisi, Uncen, tokoh-tokoh adat dari Merauke, tokoh masyarakat, dan inisiatornya Frederikus Gebze serta beberapa kelompok yang tergabung dalam keprihatinan masyarakat Papua dalam hak-hak politik orang asli Papua yang dihembus dari selatan tanah Papua, Kabupaten Merauke.
“Suara-suara kemerdekaan, suara-suara ingin memisahkan diri, suara-suara integrasi yang terjadi selama ini di Indonesia salah satunya karena hak-hak politik orang Papua tidak mendapatkan kesempatan,”katanya.
Draf usulan hasil pertemuan tersebut, kemudian diserahkan dari Sekretaris LMA Provinsi Papua Paskalis Netep kepada bupati Merauke Frederikus Gebze dan Rektor Uncen Dr. Ir. Apollo Safanpo, ST, MT, untuk mendapat kajian akademik terhadap draft tersebut. Selanjutnya hasil keputusan dari musyarawat adat dari 4 mata angin diserahkan ke bupati Merauke selanjutnya diserahkan ke DPRP diperjuangkan ke Presiden.
Ditambahkannya, hagaimana mungkin orang asli Papua bisa menjadi anggota legislatif jika mekanismenya melalui NPWP (Nomor Piro Wani Piro).
“Bayangkan satu kepala (suara) ada yang ‘membeli’ 500 ribu sampai 1 juta. Bagaimana mungkin orang Papua bisa duduk di DPR kalau caranya seperti itu lewat money politik,” sambungnya.
Dalam Undang-Undang Otsus Papua yang baru ini, terdapat dua pasal baru, yaitu Pasal 6A dan 68A.
“Sebanyak 12 pasal yang direvisi di UU Otsus Jilid II salah satunya menuangkan tentang keterwalikan hak-hak politik orang asli Papua, baik di DPR Kabupaten, maupun di DPR Provinsi. Mudah-mudahan DPR RI juga bisa, tapi itu kan ada mekanisme,” ucapnya.
Untuk DPR Kabupaten, 1 persen sesuai dengan jumlah kursi yang ada. Disitulah, pemuda, perempuan, akademisi, budayawan, maupun masyarakat Adat yang indepeden dari dalam kultur adat, perempuan dan agama untuk duduk di DPR yang namanya Fraksi Otsus. “Kurang lebih ada yang mendapat 7 kursi, 10 kursi, tergantung jumlah kursi yang ada di masing-masing kapubaten seperti terjadi di DPRT Provinsi Papua 14 kursi,” terangnya.
Pada kesempatan wawancara tersebut, Freddy juga mengusulkan untuk DPR RI harus orang asli Papua supaya betul-betul mewakili orang asli Papua. “Suara orang Papua bisa menyuarakan apa yang menjadi aspirasi orang Papua. Bukan kita melarang orang lain berteriak menyuarakan orang Papua, tetapi ajarkan kami supaya kalau dinkandang kambing kami mengembik, kalau dikandang ayam kami berkokok, jangan sampai ada srigala berbulu domba, jadilah orangtulus seperti merpati tak pernah ingkar janji,” pungkasnya.
Editor: A2M
Tinggalkan Balasan